A. Pendahuluan
Sekilas, apabila kita
mendengar kata kontrak, kita langsung berpikir bahwa yang dimaksudkan adalah
suatu perjanjian tertulis. Artinya, kontrak sudah dianggap sebagai suatu
pengertian yang lebih sempit dari perjanjian. Dan apabila melihat berbagai
tulisan, baik buku, makalah, maupun tulisan ilmiah lainnya, kesan ini tidaklah
salah sebab penekanan kontrak selalu dianggap sebagai medianya suatu perjanjian
yang dibuat secara tertulis. Dalam pengertiannya yang luas kontrak adalah
kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara dua pihak atau lebih. Dua orang
yang saling mengucapkan sumpah perkawinan, sedang menjalin kontrak perkawinan;
seseorang yang sedang memilih makanan di pasar menjalin kontrak untuk membeli
makanan tersebut dalam jumlah tertentu.
Kontrak tidak lain adalah
perjanjian itu sendiri (tentunya perjanjian yang mengikat). Dalam pasal 1233
KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari :
1. Perjanjian; dan
2. Undang-undang
Kontrak dalam Hukum
Indonesia, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) disebut overeenkomst yang apabila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, berarti perjanjian. Salah satu sebab
mengapa perjanjian oleh banyak orang tidak selalu dapat mempersamakan dengan
kontrak adalah karena dalam pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal
1313 KUH Perdata tidak memuat kata “perjanjian dibuat secara tertulis”.
Pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, hanya menyebutkan
sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.
B. Asas-Asas
Hukum Kontrak
Dalam hukum kontrak
dikenal beberapa asas, di antaranya adalah sebagai berikut :
1.
Asas
Konsensualisme
Asas konsensualisme
sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan.
Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa
lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian,
apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun
kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan
tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi
mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligator,
yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.
Asas konsensualisme
terdapat terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hukum perjanjian yang diatur
dalam KUH Perdata bersifat dan berasas konsensualisme, kecuali ada beberapa
perjanjian merupakan pengecualian dari asas tersebut, misalnya seperti perjanjian
perdamaian, perjanjian perburuhan, dan perjanjian penghibahan. Kesemua
perjanjian yang merupakan pengecualian tersebut, belum bersifat mengikat
apabila tidak dilakukan secara tertulis.
2.
Asas
Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan
berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hokum kontrak.
Didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian
pula ada yang mendasarkan pada pasal 1320 BW bahwa semua perjanjian yang
menerangkan tentang syarat sahnya perjanjian.
Maksud dari asas
kebebasan berkontrak artinya para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur
sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Memenuhi syarat sebagai suatu
kontrak
b. Tidak dilarang oleh undang-undang
c. Sepanjang kontrak tersebut
dilaksanakan dengan itikad baik
3.
Asas
Mengikatnya Kontrak ( Pacta Sunt Servanda )
Setiap orang yang
membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak
tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat
para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada
Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
4.
Asas
Itikad Baik (Goede Trouw)
Menurut Pasal 1338
ayat (3) KUH Perdata, suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik (
goeder trouw, bona fide ). Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut
mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya
suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Itikad baik disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada
“pembuatan suatu kontrak. Sebab, unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu
kontrak sudah dapat dicakup oleh unsure “kausa yang legal” dari Pasal 1320
tersebut.
C.
Syarat Sahnya Kontrak
1.
Kesepakatan
Kesepakatan para
pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini
dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya
penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Terjadinya kesepakatan dapat
terjadi secara tertulis dan tidak tertulis.
Para pihak yang
melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di
bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta
yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat
akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu.
Berbeda dengan akta
di bawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta,
akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang.
Perbedaan prinsip
antara akta di bawah tangan dengan akta autentik adalah karena jika para pihak
lawan mengingkari akte tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu
sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik selalu dianggap
asli, kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta di bawah tangan
disangkali oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan dibebani untuk
membuktikan kaslian akta tersebut, sedangkan kalau suatu akta autentik
disangkali pemegang akta autentik tidak perlu membuktikan keaslian akta
autentik tersebut tetapi pihak yang menyangkalilah yang harus membuktikan bahwa
akta autenti tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah
tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta autentik adalah
pembuktian kepalsuan.
2. Kecakapan
Syarat kecakapan
untuk membuat suatu perikatan, harus dituangkan secara jelas mengenai jati diri
para pihak. Pasal 1330 KUH Perdata, menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak
cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 9
a.
Orang-orang
yang belum dewasa, belum berusia 21 tahun dan belum menikah
b.
Berusia
21 tahun tetapi di bawah pengampuan seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan,
atau pemboros dan;
c.
Orang
yang tidak berwenang.
Sebetulnya ada satu
lagi yang dianggap oleh KUH Perdata tidak cakap hukum yaitu perempuan, akan
tetapi saat ini undang-undang sudah menetapkan lain yaitu persamaan kedudukan
perempuan dan laki-laki.
3.
Hal
tertentu
Dalam suatu kontrak
objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian
tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat
sesuatu. Hal tertentu ini dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud
barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.
Untuk menentukan
tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan
dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas
antara dua rumah yang bertetangga”.
4.
Sebab
yang halal
Istilah kata halal
yang dimaksud di sini bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang
dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Isi perjanjian harus
memuat/causa yang diperbolehkan. Apa yang menjadi obyek atau isi dan tujuan
prestasi yang melahirkan perjanjian harus tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
D. Unsur-Unsur
Kontrak
1.
Unsur
Esensiali
Unsur esensiali
merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya
kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka tidak ada kontrak. Sebagai contoh,
dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga dalam
kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu
yang diperjanjikan.
2.
Unsur
Naturalia
Unsur Naturalia
merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak
diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan
demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam
kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat
tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang
harus menanggung cacat tersembunyi.
3.
Unsur
Aksidentalia
Unsur aksidentalia
merupakan unsur yang nanti ada satu mengikat para pihak jika para pihak
memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran
diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar selama tiga bulan
berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor
tanpa melalui pengadilan. Demikian pula oleh klausul-klausul lainnya yang
sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsure esensial
dalam kontrak tersebut.
E. Akibat
Hukum Suatu Kontrak
Akibat hukum suatu
kontrak pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum dari suatu perikatan,
yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang
merupakan salah satu bentuk daripada akibat hukum suatu kontrak. Kemudian, hak
dan kewajiban ini tidak lain adalah hubungan timbal balik dari para pihak,
maksudnya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu
pun sebaliknya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua,
begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak kedua merupakan hak bagi pihak
pertama. Dengan demikian, akibat hokum di sini tidak lain adalah pelaksanaan
dari pada suatu kontrak itu sendiri.
Menurut pasal 1339
KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan, dan
undang-undang.
F. Berakhirnya
Suatu Kontrak
Berakhirnya perikatan
diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata. Yang diartikan dengan berakhirnya perikatan
adalah selesainya atau hapusnya sebuah perikatan yang diadakan oleh dua pihak
yaitu kreditor dan debitor tentang sesuatu hal. Pihak kreditor adalah pihak
atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan debitor adalah pihak yang
berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Bisa berarti segala perbuatan hukum yang
dilakukan oleh kedua pihak, bisa jual beli, utang piutang, sewa menyewa, dan
lain-lain.
Disebutkan dalam KUH
Perdata tentang berakhirnya perikatan diantaranya yaitu :
a. Karena Pembayaran
b.Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan
c. Karena pembaharuan utang (Novasi)
d.Karena perjumpaan utang atau kompensasi
e. Karena percampuran utang
(Konfusio)
f. Karena pembebasan utang
g. Karena musnahnya barang yang
terutang
h.Karena batal atau pembatalan
i. Karena berlakunya suatu syarat
batal
j. Karena lewatnya waktu
(Kedaluwarsa)
Penulis
: Tommi Ricky Rosandy, S.H.
Sumber:
https://tommirrosandy.wordpress.com/2011/02/13/pengantar-hukum-kontrak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar